Selasa, 04 Agustus 2009


Tambang Belerang, Hasil Minimum


Oleh Ogilvy Muara Hati dan Rr. Handining Cempaka dari Kawah Ijen. Banyuwangi – Perlu waktu 1,5 jam untuk mencapai bibir kawah dengan berjalan kaki dengan jarak 3,2 kilometer dari drop point wisatawan. Dari pukul 05.0
0 WIB para penambang sudah memulai kerjanya. Masing-masing membawa 1-2 keranjang kosong.

Beban yang diangkut masing-masing penambang rata-rata sekitar 75 kilogram setelah menambang. Beban ini luar biasa berat buat kebanyakan orang saat belerang diangkut melalui dinding kaldera yang curam dan 800 meter menuruni kembali gunung sejauh 3,2 kilometer.

Kegiatan penambangan belerang secara tradisional
masih ada di kawah Gunung Ijen yang letaknya di Kabupaten Banyuwangi ini. Sebuah danau hijau tosca dengan diameter 1 km berselimutkan kabut dan asap belerang berada jauh dibawah.

Untuk menuju ke bibir kawah Ijen kita perlu me
nuruni bebatuan tebing kaldera melalui jalan setapak yang dilalui penambang. Sapu tangan basah sangat diperlukan, karena seringkali angin bertiup membawa asap menuju ke jalur penurunan.

Danau Ijen dengan derajat keasaman nol, memiliki ke
dalaman 200 meter dan volume hampir 40 juta meter kubik. Didasar kawah, sejajar dengan permukaan danau terdapat tempat pengambilan belerang. Asap putih pekat keluar menyembur dari semacam pipa besi yang dihubungkan ke sumber belerang. Lelehan 600˚C fumarol berwarna merah membara meleleh keluar dan membeku karena udara dingin, membentuk padatan belerang berwarna kuning terang.

Terkadang bara fumarol menyala tak terkendali, yang biasanya segera disiram air untuk mencegah reaksi piroporik berantai. Batu-batuan belerang ini dipotong dengan linggis dan diangkut ke dalam keranjang.

Bernapas dalam lingkungan seperti ini membutuhk
an perjuangan yang berat, para penambang umumnya bekerja sambil menggigit kain sarung atau potongan kain seadanya sebagai penyaring udara. “Saya biasanya cuma pakai kain ini”, kata Santoso, salah satu penambang, sambil menunjukkan kain yang dikalungkan di lehernya.

Lima menit berada di bibir kawah, mata terasa perih dan dada menjadi sesak. “Susah sekali bernafas di bawah. Rasanya seperti sakratul maut”, ka
ta Yanuar, salah seorang pengunjung.

“Rata-rata saya biasa dapat 48 ribu rupiah per satu kali angkut per harinya”, ungkap Santoso. Bila di kalikan sekitar 600 rupiah per kilonya. Bayangkan dengan hasil seminim itu mereka senang menjalankannya.
“Saya sudah 7 tahun kerja disini”, ungkap pria berusia 31 tahun ini. Pekerjaan ini sudah mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

“Setiap hari saya bisa angkut belerang 2 kali”, jelasnya. 400 orang hilir mudik menambang bergantian. Santoso sesekali menyapa teman-teman dan beristirahat sejenak.

Dalam istirahatnya Santoso menawarkan souvenir kepada para wisatawan. “Ayo mbak beli, 5000 tiga” dengan wajah memelas Santoso menawarkan beberapa buah hasil cetakan belerang berbagai bentuk.


Turun 1 kilometer dari tempat penambangan, pen
ambang sudah dapat menimbang hasil tambangnya di kantor administrasi tambang. Di sana belerang ditimbang, dibedakan antara tarra, bruto dan netto.

Hasil netto per kilogram dihargai 600 rupiah. Alimik seorang penambang, yang kebetulan sedang istirahat menjelaskan tentang proses penimbangan pada kami. “Nota ini nantinya ditukar uang di bawah”, jelas Alimik. Hari itu Alimik menukarkan 4 nota, hasil menambanganya selama dua hari. Hasil tambang ini kemudian diolah menjadi
bahan kosmetik dan pemutih gula.

Penambangan belerang dilakukan dua kali sehari tidak terbatas waktu. “Susahnya di sini waktu musim hujan”, tambah Santoso. Ketika hujan, pandangan mata akan terbatas dan jalan rute pengangkutan menjadi licin.