Rabu, 05 Agustus 2009

Asas Hukum Untuk Dunia Cyber

No. 4

Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama
adalah pendekatan teknologi, kedua pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga
pendekatan hukum. Untuk mengatasi gangguan keamanan pendekatan teknologi
sifatnya mutlak dilakukan, sebab tanpa suatu pengamanan jaringan akan sangat
mudah disusupi, dintersepsi, atau diakses secara ilegal dan tanpa hak.
Dalam ruang cyber pelaku pelanggaran seringkali menjadi sulit dijerat karena hukum
dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi terhadap pelaku dan perbuatan
hukum yang terjadi, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia. Dalam hukum internasional,
dikenal tiga jenis jurisdiksi, yakni jurisdiksi untuk menetapkan undang-undang (the
jurisdiction to prescribe), jurisdiksi untuk penegakan hukum (the jurisdiction to
enforce), dan jurisdiksi untuk menuntut (the jurisdiction to adjudicate).
Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang
biasa digunakan, yaitu : pertama, subjective territoriality, yang menekankan bahwa
keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan
penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain. Kedua, objective
territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana
akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan
bagi negara yang bersangkutan. Ketiga, nationality yang menentukan bahwa negara
mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan
pelaku. Keempat, passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan
kewarganegaraan korban. Kelima, protective principle yang menyatakan berlakunya
hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila
korban adalah negara atau pemerintah, dan keenam, asas Universality.
Asas Universality selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak
untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian
diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.
Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan
untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses,
namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk
kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan
pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas
wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi
oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan
antara legally significant (online) phenomena and physical location.
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber dimana
pengaturan dan penegakan hukumnya tidak dapat menggunakan cara-cara tradisional,
beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatan-kegiatan dalam cyberspace
diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tentang tumbuhnya the law
of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma
yang mengatur ruang cyber ini yang tumbuh dalam praktek dan diakui secara umum
disebut sebagai Lex Informatica.
Sengketa-sengeketa di ruang cyber juga terkait dengan Hukum Perdata Internasional,
antara lain menyangkut masalah Kompetensi forum yang berperan dalam menentukan
kewenangan forum (pengadilan dan arbitrase) penyelesaian kasus-kasus perdata
internasional (HPI). Terdapat dua prinsip kompetensi dalam HPI : pertama, the
principle of basis of presence, yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan
untuk mengadili ditentukan oleh tempat tinggal tergugat. Kedua, principle of
effectiveness yang menyatakan bahwa kewenangan pengadilan ditentukan oleh di
mana harta-benda tergugat berada. Prinsip kedua ini penting untuk diperhatikan
berkenaan dengan pelaksanaan putusan pengadilan asing (foreign judgement
enforcement).
Asas kompetensi ini harus dijadikan dasar pilihan forum oleh para pihak dalam
transaksi e-commerce. Kekecualian terhadap asas ini dapat dilakukan jika ada
jaminan pelaksanaan putusan asing, misalnya melalui konvensi internasional. .
Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat
dikemukakan beberapa teori sebagai berikut : Pertama The Theory of the Uploader
and the Downloadr Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam
wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat
bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap
orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam
wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading
kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang
menggunakan jurisdiksi ini.
Kedua adalah teori The Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server di
mana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford
University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan
apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. Ketiga The Theory of International
Spaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah
tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni
sovereignless quality.